REDAKSI8.COM – Tidak berlebihan jika masyarakat Kelurahan Mentaos Kota Banjarbaru memiliki mental dan fisik tangguh hingga dijuluki Kampung Tangguh. Baik tangguh dari wabah covid-19 maupun tangguh dan kekeh bekerja keras.
Lurah Mentaos, Muhammad Rifa’i mengatakan, warga di tempatnya memang benar memiliki ketangguhan baik berpikir maupun bekerja. Lantaran hal itulah lokasi yang juga disebut kampung ikan itu di cetuskan menjadi kampung tangguh.
“Selain banyak yang bikin usaha pembibitan ikan dan budidaya, pabrik pengolah tempe juga cukup menarik di tempat kami ini,” ujarnya.
Ia menerangkan, pabrik tempe milik salah satu warganya itu sangatlah ramah lingkungan. Bagaimana tidak, ampas dari penggilingan tempe dalam hal ini kulit kacang kedelai dimanfaatkam menjadi pakan ikan dan hewan ternak sapi.
“Jadi mereka itu tidak hanya produksi tempe saja, mereka juga sembari melakukan pembesaran ikan. Dengan menggunakan ampas tempe sebagai pakan, modalnya lebih ringan serta ramah lingkungan,” papar Rifa’i kepada Redaksi8.com beberapa waktu lalu.
Selanjutnya pemilik pabrik tempe di Kampung Tangguh, Purwanto menceritakan, usaha pabrik tempenya itu sudah berjalan selama kurang lebih 9 tahun. Dimulai dari kecil-kecilan, alasan Purwanto memilih usaha pembuatan tampe karena tempe merupakan makanan pokok yang bisa dinikmati semua kalangan. Mulai dari menengah ke bawah hingga menengah ke atas.
“Tempe ini merakyat mas, rakyat kecil hingga menengah atas suka sama tempe. Prospeknya bagus,” katanya kepada pewarta saat di datangi di pabrik tempe miliknya, Kamis (13/8).
Ia membenarkan, kabar mengenai kolam pembesaran ikan miliknya menggunakan pakan dari ampas tempe di pabriknya. Baginya selain lebih hemat kualitas pertumbuhannya juga bagus, karena ampas tersebut didiamkan selama 24 seperti pada tempenya.
“Ampasnya ini malah lebih bagus didiamkan semalaman seperti tempenya, lebih mudah dicerna ikan karena ada jamurnya. Buat kasih makan sapi juga bagus,,” ungkap Purwanto.
Pengaruh Covid-19 Terhadap Permintaan Tempe di Kota Banjarbaru
Kendati adanya pandemi covid-19, tidak satupun usaha di seluruh belahan bumi pertiwi yang tidak terdampak secara ekonomi, secara menyeluruh terjadi penurunan.
Apalagi saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) beberapa waktu belakangan menjadikan denyut nadi ekonomi para pedagang dan pengusaha seolah merintih.
Purwanto menjelaskan, selama dipertengahan masa pandemi, permintaan tempe yang biasa selalu banyak kian turun sampai 50%. Hanya di jual ke wilayah pasar Beutung Kota Banjarbaru, tempe olahannya yang berukuran panjang kurang lebih 2 meter itu dihargai Rp. 28 ribu sampai Rp. 38 Ribu saja.
“Harga dibedakan berdasarkan kualitas rasa dan kepadatan tempenya. Bikinnya juga lebih lama kalau yang mahal, serta ketahanannya juga lebih lama yang mahal,” tuturnya.
“Kalau yang mahal itu tanpa dimasukin ke kulkas bisa tahan sampai 3 hari. Tapi yang lebih murah cuma bisa tahan 1 hari tanpa dimasukan ke kulkas. Sedangkan yang pakai daun pisang harganya masih sama 28 ribu, cuma kata pembeli saya yang pakai daun pisang ada aroma daunnya sedikit,” tambah Purwanto.
Sebelum pandemi beber Purwanto, dalam sekali olah Ia dan 2 karyawannya mampu menjual 6 karung. Memperoleh jutaan rupiah, proses pengolahannya pun higienis dan memerlukan waktu sekitar 4 hari sampai benar benar jadi tempe yang siap diolah.
Lebih jauh Purwanto menceritakan, secara takni, kedelai yang dibeli dimasukan ke dalam drum besar untuk dilakukan proses perebusan. Memerlukan waktu berjam – jam, setelah itu baru kacang kedelai dipindahkan ke wadah yang lebih besar untuk didiamkan.
Setelah 24 jam, kacang kacang tersebut digiling dan dicampurkan ragi untuk melangsungkan proses fragmentasi. Setalah diaduk rata, barulah kacang kedelai yang akan menjadi cikal bakal tempe itu di masukan ke dalam cetakan pelastik transfaran, supaya ragi yang dicampurkan tadi dapat memproses hingga terbentuklah sebongkah tempe.
“Masalahnya saat ini sekolah libur, pegawai kantor banyak yang bekerja di rumah, konsumennya pasti berkurang,” tandasnya..