REDAKSI8.COM – Sejak dikeluarkannya Kebijakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Edhy Prabowo, perihal pencabutan larangan penggunaan cantrang, sedikitnya menuai keluhan masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Kalimantan Selatan.
Amran Nur (24), warga Desa Tanjung Sungai, Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar, Kabupaten Kotabaru, mengadukan keluhannya terkait kebijakan tersebut.
Ia menilai penggunaan cantrang sangat merugikan nelayan kecil di desanya. Banyak ikan di wilayah fishing ground sekitaran pulau marabatuan dan pulau birah yang secara diam – diam diambil menggunakan alat tangkap cantrang.
“Dari cerita ayah saya, banyak nelayan asal jawa datang menangkap ikan di tempat kami. Mereka beralasan masuk ke perairan kami untuk beristirahat sejenak, ternyata setelah di perhatikan mereka diam-diam memasang cantrang,” beber Amran Nur kepada Redaksi8.com, Rabu (12/8).
“Secara aturan kan tidak boleh masuk ke wilayah kami, kan sudah ada batas-batasnya,” sambungnya.
Atas kejadian ini, Amran panggilan akrabnya sangat menyayangkan, para pengguna cantrang masih ada. Hal itu baginya, tentu saja berdampak terhadap tingkat perekonomian warga desanya.
“Kita disini masih menggunakan alat tradisional seperti Marenpa dan Melunta. Karena alat itu ramah lingkungan dan supaya keberlangsungan ikan di tempat kita tetap lestari, tidak habis dalam waktu singkat,” terangnya.
“Saya sebagai putra daerah malu jika wilayah tangkapan ikan di daerah sendiri di ambil tanpa permisi,” tambah Amran dengan tegas.
Dijawab oleh PLT Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalsel, Fadhli. Katanya, pihaknya sudah berupaya meminta kepada pemerintah daerah dalam hal ini Jawa Timur, Jawa Tengah sampai Jawa Barat agar para nelayan disana tidak mendapatkan surat rekomendasi menangkap ikan ke perairan Kalimantan Selatan.
Karena sampai saat ini penggunaan alat tangkap cantrang cenderung digunakan oleh nelayan dari wilayah Jawa bukan dari Kalsel.
Di Kalimantan Selatan tutur Fadhli saat ditemui di ruangannya, tidak ada nelayan yang menggunakan alat tangkap tersebut, selain karena tidak ramah lingkungan juga tidak bersahabat dengan nelayan kecil.
“Daerah perairan tangkap di Kalsel lebih cocok menggunakan alat tangkap pasif, rempa dan lunta. Cantrang tidak cocok untuk kita. Karena kontur perairan di pesisir kita beda dengan di daerah perairan jawa. Ditempat kita dari landai menuju dalam, kalau di jawa tipe perairan pesisirnya langsung cantung,” Ia menerangkan.
Ia mengaku, baru baru saja pihak Polisi Air (Polair) yang bertugas di wilayah perairan Wpp 712, telah berhasil meringkus para nelayan asal jawa yang ikut melakukan aktifitas penangkapan ikan menggunakan cantrang. Saat ini, kabar para nelayan tersebut telah menjalani proses hukum.
“Walaupun kita sudah melakukan perjanjian kerja sama dengan pihak lain, tetapi tetap saja alat tangkap cantrang tidak diperbolehkan masuk wilayah kita. Di Kalsel tidak ada cantrang,” tandasnya.
Apa Itu Cantrang? Yuk Kenali!
Dilansir dari siaran pers Kemeneterian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (RI), Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan.
Cantrang dioperasikan dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan. Kedua ujung tali tersebut kemudian ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian kantong jaring terangkat.
Penggunaan tali selambar yang mencapai panjang lebih dari 1.000 m (masing-masing sisi kanan dan kiri 500 m) menyebabkan sapuan lintasan tali selambar sangat luas. Ukuran cantrang dan panjang tali selambar yang digunakan tergantung ukuran kapal.
Pada kapal berukuran diatas 30 Gross Ton (GT) yang dilengkapi dengan ruang penyimpanan berpendingin (cold storage), cantrang dioperasikan dengan tali selambar sepanjang 6.000 m.
Dengan perhitungan sederhana, jika keliling lingkaran 6.000 m, diperoleh luas daerah sapuan tali selambar adalah 289 Ha. Penarikan jaring menyebabkan terjadi pengadukan dasar perairan yang dapat menimbulkan kerusakan dasar perairan sehingga menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem dasar bawah laut.
Berdasarkan hasil penelitian di Brondong – Lamongan (IPB, 2009), hanya 51% hasil tangkapan cantrang yang berupa ikan target, sedangkan 49% lainnya merupakan non target. Adapun hasil penelitian di Tegal (Undip, 2008), penggunaan cantrang hanya dapat menangkap 46% ikan target dan 54% lainnya non target yang didominasi ikan rucah.
Ikan hasil tangkapan cantrang ini umumnya dimanfaatkan pabrik surimi dan dibeli dengan harga maksimal 5000/kg. Sedangkan tangkapan ikan non target digunakan sebagai pembuatan bahan tepung ikan untuk pakan ternak.
Hasil Forum Dialog pada tanggal 24 April 2009 antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL, POLRI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggambarkan kondisi Cantrang di Jawa Tengah, yaitu jumlah Kapal Cantrang pada tahun 2004 berjumlah 3.209 unit, meningkat 5.100 unit di tahun 2007 dan pada tahun berjumlah 10.758 unit.
Sedangkan hasil tangkapan per unit (Catch Per-unit of Effort/CPUE) menurun dari 8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton di tahun 2007. Dikarenakan telah overfishing, para nelayan di Pantai Utara Jawa tersebut mulai bergerak ke Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) lainnya. Pergerakkan ini bahkan telah tercatat sejak 1970.
Selain itu, dalam Uji Petik yang dilakukan pada tanggal 21 hingga 23 Mei 2015 menunjukkan, hasil pengukuran 10 unit kapal di Kabupaten Tegal dan 5 unit kapal di Kabupaten Pati terdapat indikasi markdown yang menyebabkan banyak izin kapal Cantrang berukuran besar hanya diterbitkan di tingkat Provinsi.
Untuk menanggulanginya, KKP telah mengambil langkah pengukuran ulang dan pengelompokan kategori ukuran kapal berdasarkan hasil pengukuran tersebut.
Setelah dilakukan pengukuran ulang, kapal dikelompokan dalam tiga kategori, yaitu kapal berukuran dibawah atau < 10 GT, berukuran antara 10 hingga 30 GT, dan diatas atau > 30 GT. Adapun kebijakan yang ditetapkan untuk setiap kategori adalah sebagai berikut :
Kapal dibawah 10 GT, pemerintah memberikan bantuan alat penangkap ikan baru sebagai pengganti alat penangkapan ikan yang dilarang, di antaranya jaring insang (gillnet), pancing ulur (handline), rawai dasar, rawai hanyut, pancing tonda, pole and line, bubu lipat ikan, bubu lipat rajungan, dan trammel net.
Kapal 10 – 30 GT, KKP akan memberikan fasilitas permodalan untuk memperoleh kredit usaha rakyat.
Kapal diatas 30 GT, KKP akan memberikan fasilitas perizinan dan relokasi DPI ke WPP 711 dan 718.
Sementara itu, di beberapa daerah banyak alat tangkap yang mengalami perkembangan, perubahan bentuk, model, serta cara pengoperasian.
Berbagai alat tangkap tersebut juga dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, alat tangkap tersebut tetap mengacu pada salah satu kelompok alat tangkap ikan.