REDAKSI8.COM – Musikalitas tanah air saat ini mengalami perkembangan cukup pesat, genre dan instrument yang dimainkan pun mengalami perubahan seiring dengan teknologi yang kian maju. Akan tetapi pelaku musik sendiri secara umum mengalami degredasi minat bermain musik menurut beberapa pendapat musisi dan penghobi musik.
Bagaimana tidak, dulunya anak-anak muda khususnya yang hobi dibidang seni musik secara global pada era 80’ 90’ hingga dua ribuan ke atas sebelum sekarang lebih banyak menghabiskan waktu berkumpul memainkan instrument musik, baik di dalam studio maupun di teras rumah.
Namun saat ini, kebanyakan pemuda yang memiliki potensi tersebut lebih aktif memanjakan indra pendengaran dan tangannya bersama android pribadinya masing-masing. Nongkrong di cafe-cafe tanpa berdiskusi tapi cuma memainkan game kesukaannnya, sangat jauh berbeda dengan masa sebelum ujaran kebencian menjadi “kebutuhan premier” di sosial-sosial media seperti sekarang.
Nah, balik lagi kita bahas musik di tanah air, Redaksi8.com akan mencoba membahas satu objek menarik di dunia musik yang fenomenal pada era 90’ sampai saat ini, ialah kabar terkini studio musik. Dulunya studio musik menjadi tempat favorit para musisi muda atau pemula sampai musisi profesional. Ada yang rela mengantri hingga larut malam hanya untuk latihan dan bermain alat musik khusunya alat musik elektrik.
Tapi kini studio musik yang dianggap sebagian musisi sebagai “rumah” itu sepi dan parahnya banyak pengusaha studio musik gulung tikar. Apa sebabnya? Berikut Redaksi8.com menurunkannya.
Di kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, barometer even-even dan kegiatan kumpul-kumpul orang banyak salah satunya adalah musik. Pada tahun 90’ sampai 2005 musik menjadi alasan para pemuda pemudi di Kota berjuluk Kota Pendidikan bisa berkumpul, bertemu dan berkreativitas.
Peminat menjadi seorang pemain musik yang bisa “Diakui” keren pun menjamur di zaman itu. Karena pada masa itu pula banyak even-even musik yang menjadi wadah berkreasi dan berkarya. Akan tetapi fasilitas penunjang para musisi kala itu sebut saja studio musik tidak sebanyak pada era 2007 sampai 2010 ke atas. Lantaran keterbatas itulah pemuda dimasa tersebut rela mengantri untuk bisa latihan di dalam studio musik hingga larut malam untuk bisa mengasah kemampuan individu dan groub bandnya untuk ditampilkan.
Wawan, seorang pemilik pink studio di Kelurahan Syamsudin Noor Kota Banjarbaru mengaku, di masa maraknya even-even musik pada tahun 2007 sampai 2010, studio pinknya kerap menjadi salah satu tempat berkumpulnya para pemusik di kota Banjarbaru. Mulai dari pemain musik pemula sampai musisi profesional. Bahkan katanya, ada groub band yang kekeh mengantri agar bisa latihan hingga pukul 23.00 wita.
“Karena pada masa itu banyak ruang dan wadah untuk para musisi menampilkan karyanya secara live. Otomatis studio musik menjadi tempat untuk mengasah kemampuan mereka,” ujar Wawan melalui via Whatsapp, Selasa (15/12).
Dibuka sejak pagi dari pukul 09.00 wita, studio milik Wawan tidak pernah kosong 1 jam pun pada masa jayanya even parede dan festival musik. Aliran dan genre yang dilatihkan juga beragam, dari lagu-lagu yang mainstream dimasa itu, lagu jadul 80’ samapai 90’ dan bahkan genre musik underground acap kali terdengar keluar sampai kamar Wawan yang tidak jauh dengan ruang studio di tempatnya.
“Yang latihan lagu-lagu penyanyi solo masa itu jarang, kebanyakan lagu-lagu band terkenal khsusunya pada tahun 2007 sampai 2010 itu banyak yang latihan musik beraliran Underground,” ceritanya kepada pewarta ini.
Wawan memaparkan, sewa perjam studio musiknya mengalami kenaikan harga sejak belasan tahun yang lalu sampai sekarang, dari harga Cuma Rp. 15 ribu sampai Rp. 35 ribu per jam.
“Terakhir di harga 35 ribu rupiah, itu sekitar 5 tahun yang lalu. Sekarang rata-rata sewa studio musik dari harga 50 ribu sampai 100 dengan fasilitas dan alat yang sudah standar,” terangnya.
Tidak hanya sekedar latihan musik saja, studio pink Wawan juga menyediakan sound recording kepada siapapun. Bahkan wawan bercerita, ada kuarang lebih ratusan band dari Kota Banjarbaru dan Martapura, telah banyak melakukan rekaman di tempatnya. Ditambah pembuatan video klip dengan teknologi kamera mutahkir dikala itu.
“Karena dulu itu belum banyak fasilitas berupa alat musik di setiap sekolah. Belum lagi sekarang sudah serba simpel dan minimalis, cuma modal gitar akustik dan kakhon serta sound-sound penunjangnya sudah bisa tampil di mall-mall, di cafe dan acara-acara lainnya. Nah, disutu sudah mulai terjadi penurunan orang datang buat sewa studio,” cetusnya.
“Cafe juga sudah banyak menjamur, pihak pengusaha pun tentunya tidak ingin repot menyediakan alat musik elektrik seperti di dalam studio untuk menghibur para pengunjung cafenya, cukup alat-alat seperti itu sudah bisa bikin pengunjungnya enak dan santai menikmati hidangan di depannya,” sambungnya kepada jurnalis ini.
Alasan lain kenapa sekarang studio musik sudah mengalami penurunan pengunjung bahkan sepi menurut Wawan, sejak diberlakukannya full day scchool di tambah fasilitas alat bermain musik di setiap sekolahnya juga terbilang lengkap. Jadi kesempatan untuk datang latihan ke studio musik baginya sekarang sudah sangat kecil.
“Tapi banyak juga yang malah buka studio baru dan relevan sama yang gulung tikar, berimbang aja sih,” tegasnya.
“Yang lebih masuk akal sebagai sampingan karena studio sudah sepi, sekarang saya dan teman-teman pemusik lain lebih tertarik menggarap karya dan project musik lalu di upload di sosial media,” tutupnya.
Sementara menurut Rezi Fahrezi, seorang penghobi musik dari Mentaos Kota Banjarbaru, yang baru-baru saja membuka studio musik di rumahnya itu menganggap, berkurangnya minat pemuda latihan bermusik di dalam studio karena faktor budaya yang berubah. Dimana dulu para pemusik banyak meluangkan waktunya untuk latihan demi mempersiapkan penampilannya dipanggung even festival maupun parade musik, sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan androidnya.
“Banyak waktu pemuda yang memiliki bakat bermusik sekarang teralihkan ke dunia media sosial. Mereka lebih sibuk dan aktif bermain dengan gadgetnya ketimbang mengasah kemampuan bermain musiknya,” tutur Rezi.
“Tujuan saya buka studio ini juga bukan untuk profit oriented usaha rental studio musik, tapi lebih karena hobi saja tidak lebih. Kalau kawan-kawan musisi di Banjarbaru ingin main kesini datang saja. Atau jika ingin sedikit lebih privasi bisa saja sewa. Pintu studio di rumah saya tetap terbuka lebar, tapi jika ingin menyewa, harga sewanya tidak untuk regular, lebih ke musisi profesional saja. Karena fasilitas perlengkapan musik di tempat saya di atas standar semua,” lebih jauh Ia menjelaskan.
Padahal faktanya, di era milenial sekarang tangguh Rezi, para pemusik lebih mudah menampilkan karyanya melaui media sosial sebagai piranti promosi. Seperti yang telah dilakukannya tahun lalu dengan membuat album kompilasi karya musisi-musisi muda kelas SMA ke bawah sekota Banjarbaru. Itu semua dilakukan Rezi untuk menimbulkan rangsangan kepada para pemuda lain agar termotivasi ikut menghasilkan karya musik.
“Sekarang zamannya berkarya melalui sosial media, itu jauh lebih cepat promosinya ketimbang kita dulu harus tampil di pentas musik festival dan parede. Walaupun kehebatan teknologi sekarang memiliki kekurang juga, kebanyakan yang tampil di sosial media juga bukan karya pribadi tapi cover lagu-lagu orang lain yang sudah trend. Karena bagi saya harkat tertinggi dan bermusik itu adalah sebuah karya,” jawab Rezi.
“Kita di Banjarbaru sebenarnya jika ingin menghidupkan lagi studio musik caranya seperti menyiapkan wadah para musisi untuk menampilkan karya musiknya di tengah-tengah masyarakat secara live. Peran pemerintah dalam hal ini cukup kuat, salah satunya mengikut sertakan musisi-musisi muda di acara yang ada penampilan musik yang sudah terjadwal dalam kalender even,” akhiri Rezi.
Mengenai itu, Analis Kesenian Budaya Bidang Budaya Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Kota Banjarbaru, Akhmad Yani menanggapi, bahwa selama ini pihaknya sudah pernah melakukan pembinaan dan perhatian terhadap pemusik-pemusik generasi milenial, dengan menggelar workshop musik pada di Mess L Kota Banjarbaru pada tahun 2019 lalu.
“Disana kita berbagi wawasan dan ilmu pengetahun soal musik dan budaya untuk pemuda Banjarbaru khususnya musisi. Kendalanya kemarin waktunya singkat, hanya 3 hari saja. Seharusnya jika ingin maksimal dilaksanakan minimal satu minggu sekalian dengan prakteknya,” ujarnya.
“Kita juga ingin menggelar lagi even-even seperti dulu, namun pihak ketiga dan event orgenaizer saat ini masih terkendala pandemi covid-19. Semoga melalui anggaran tahun 2021 dan pandemi covid-19 nanti akan berlalu, even seperti workshop dan parade serta festival musik sudah bisa kembali di gelar,” pungkasnya.