REDAKSI8.COM – Belakangan ini semakin banyak anak Indonesia yang kecanduan gadget seperti smartphone dan peralatan gaming seiring perkembangan teknologi yang pesat dalam negeri.
Anak makin sulit membagi waktu untuk belajar dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya karena sibuk bermain gadget. Hal ini sudah banyak dikeluhkan kalangan orang tua.
Bahkan tak jarang ada orang tua yang sampai melakukan kekerasan demi menghentikan kebiasaan anak kecanduan gadget.
Apalagi dikala pandemi, anak-anak yang dirumahkan mengikuti pembelajaran lebih aktif memainkan gadgetnya. Selain karena kebutuhan belajar online, kerap ditemui pasca belajar sang anak serontak membuka berbagai aplikasi game di smartphone miliknya.
Terlebih jika membuka tayangan disalah satu media sosial bukannya menyaksikan tayangan yang ada hubungannya dengan tugas-tugas diberikan, malah menonton tutorial bermain game agar menjadikan jagoan karakter yang dimainkannya bisa sehebat milik orang lain.
Dilansir dari Jpnn.com, Menurut Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar, anak tidak bisa disalahkan karena kecanduan gadget. Orang tua yang harus berkaca diri atas kebiasaan anak.
“Orang tua kesal karena anaknya kecanduan gawai. Padahal itu masalahnya bukan pada anaknya. Tetapi hal tersebut masalah parenting skill. Orang tua tidak memiliki kemampuan mengasuh anak,” ujar Nahar saat menghadiri media gathering bersama Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Puspayoga di kantor Kementerian PPPA, Jakarta, Selasa (14/1).
Baginya, wali yang tidak memiliki parenting skill berarti itu termasuk kategori orang tua yang bermasalah. Orang tua, tegasnya, tidak bisa melakukan kekerasan pada anak hanya karena sibuk bermain gadget.
Anak seharusnya dibimbing dengan cara persuasif dan edukatif karena kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah kecanduan gadget tersebut.
“Kalau anak kecanduan gadget ya jangan salahkan anaknya dong, siapa yang kasih gadget itu? siapa yang harus mendidik anak agar tidak kecanduan gadget. Orang tuanya kan. Jangan lempar tanggung jawab begitu saja apalagi sampai lakukan kekerasan anak karena masalah gadget. Gak bisa gitu. Harus dengan pendekatan lain,” akhiri Nahar.
Menurut seorang remaja asal Kelurahan Guntung Manggis, Kota Banjarbaru, Riyan Antoni (20), yang menganggap bermain game adalah sebuah hobi saja, bukanlah menjadi sebuah kebutuhan. Acap kali, Riyan dan kawan-kawannya memainkan game jenis moba action bersama-sama.
Bagi Riyan, waktu bermain game hanya dilakukannya saat istirahat bekerja selama kurang lebih 1 jam.
“Kalau tidak ada lagi pekerjaan khususnya di malam hari bisa sampai larut malam,” ujarnya kepada Redaksi8.com, Selasa (15/12).
Riyan mengaku, sudah bermain game sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas 2 pada tahun 2008 lalu. Dimana game yang kerap menemaninya itu hanya game-game playstation. Selain itu juga Riyan sering menghabiskan waktu bersama temannya untuk bermain kelereng, layangan dan kartu bergambar.
“Saya rindu bermain bersama kawan-kawan dilapangan. Mengejar layanagan dan bermain bola setiap sore. Waktu itu kalau sudah pulang ke rumah selesai main, saya ingin segera kembali bertemu teman-teman untuk bermain bersama lagi,” ungkapnya.
Hal senada juga di tuturkan oleh seorang guru bahasa inggris di salah satu sekolah favorit di Kabupaten Banjar, Bagus Juliyanto (29), sebagai seseorang yang menghabiskan masa kecil di era 90’an, Bagus sapaan akrabnya merindukan beberapa hal yang sering dilakukan bersama temannya mulai dari di sekolah, sepulang sekolah dan di hari libur.
Selama jam istirahat saat di sekolah Bagus bercerita, juga sudah bermain game elektronik. Dimana teknologi game paling canggih di masanya hanyalah rental Game Boy Aki. Merogoh kocek Rp. 100 saja, Bagus sudah bisa menikmati keseruan bermain game dengan kekuatan Aki itu selama 10 sampai 15 menit.
“Itu historikal sekali. Saya biasa saling rebutan sama teman agar bisa lebih dulu bisa merental game boy aki, karena jumlahnya terbatas,” terangnya melalui Via Whatsapp.
Sedangkan untuk permainan fisik selama jam istirahat, Bagus dan temannya kerap bermain bola kaki dan “Ajakan Sendal”.
Diketahui Ajakan Sendal adalah permainan klasik orang Banjar. Secara teknis permainnya, awalnya beberapa anak mengumpulkan masing-masing sendalnya yang di letakan dalam satu lingkaran besar. Lalu si pelaku (ajak) bersuaha menjaga dari dalam lingkaran agar sendal-sendal tersebut tidak dicuri oleh anak lain yang mencoba mengambil masing-masing sendalnya dari luar lingkaran.
Jika si pelaku berhasil menyentuh bagian tubuh anak lain yang mencoba masuk ke dalam lingkaran mengambil sendalnya,maka anak yang tubuhnya berhasil disentuh tadi otomatis akan berubah menjadi pelaku selanjutnya.
“Kan cape selesai main permainan itu, biasanya kita langsung ke kantin sekolah membeli es Panta beramai-ramai,” tuturnya.
“Sepulang sekolah, saya biasa langsung meluncur ke rental playstasion menggunakan kaos klewang putih dengan celana sekolah masih melengket di badan. Sore harinya saya langsung berangkat ke rumah guru baca tulis Al-Quran,” sambungnya menerangkan.
Sementara di hari libur khususnya hari minggu, ujar Bagus adalah hari marathon film kartun dari sejak pukul 07.00 wita pagi sampai 12.00 wita.
“Ada tayangan film kartun yang hanya bisa di saksikan di chanel tertentu. Bisa nonton jika kita memasang parabola, itu film Dragon Ball. Kami yang belum punya parabola terpaksa nimrung barang-bareng di rumah teman yang memasang parabola, disitu ramenya,” cerita Bagus.
Di musim libur panjang ketika bulan suci Ramadhan, baginya libur tersebut merupakan waktu yang paling afdol bermain pistol-pisitolan. Peluru dari bahan plastik berukuran kecil berbentuk bundar, menjadi sensasi tersendiri ketika mengenai tubuh selama permainan perang-perangan antar tim.
“Biasanya main perang-perangnya sambil makan dan minum. Di tangan kanan saya pegang pistol mainan cap cobra lengkap dengan outfit kebesaran bulan suci ramadhan kemeja koko. Di tangan satunya memegang air botol kemasan. Mainnya sampai tiarap-tiarapan gitu, sakit sih tapi seru,” tukasnya.
“Dengan cerita demikian, semoga orang tua zaman sekarang mengingat masa-masa kecilnya yang penuh kenangan kebersamaan itu dan bisa di terapkan kepada anak-anaknya. Karena saat ini banyak orang tua lebih memilih anaknya tinggal di rumah memainkan gadget karena dianggap mudah diawasi ketimbang menyaksikan perkembangan fisik dan pola pikirnya berdasarkan pertualangan yang dirasakan secara langsung oleh si anak,” pungkas Bagus dengan penuh harapan.