Putri Junjung Buih baru muncul ke permukaan kalau syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu membuatkan sebuah istana Batung (mahligai megah) yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan.
Dan membuatkan sehelai kain langgundi yang dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri yang masih perawan dengan motif wadi/padiwaringin.
Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan.
Jika tidak, Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada saat itulah kain calapan pertama kali dibuat dan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan. Ada juga yang mengatakan kain langgudi bukan kain calapan.
Dahulu kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni :
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak.
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar Ramania, pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan
Saat ini, fungsi kain sasirangan yang dulunya disebut kain Langgudi, sebagai penawar sakit, tanda entitas kedudukan seorang warga di kerajaan, kini hampir semya warga Banjar memiliki kain sasirangan.
Lihat juga : BSF, Dari Terry Putri Sampai Garuda, Ada Apa?
Baik masih berupa helaian kain, ataupun berupa pakaian. Bahkan, klub sepakbola kebanggaan Banua, Martapura FC, menggunakan motif sasirangan di jersey resminya.