REDAKSI8.COM – Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimatan Selatan, Faturrahman, menyampaikan sejarah jurnalis di Indonesia dalam kegiatan Workshop Jurnalis Camp (WCJ) oleh Dapur Jurnalis Banjarbaru (DJB) dan Baret78 di Hutan Pinus Mentaos Kota Banjarbaru, Jumat (9/10).
Ia mengatakan, Media adalah potret masyarakat, bagaimana bentuk dan arah tulisan atau gambar penayangan televisi dari produk berita tersebut maka seperti itulah stigma yang masuk ke masyarakat itu sendiri, termasuk sebuah sejarah.
“Karena tulisan adalah sejarah, bagaimana kita mengukir sejarah itu semua berawal dari sebuah tulisan. Contohnya sejarah indonesia,” bebernya.
Ia pun menceritakan, pembangunan di indonesia tidak luput dari peran pers dan media sejak masa pemerintahan presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno.
“Jika pada masa nenjelang kemerdekaan tidak ada media dalam hal ini siaran radio, maka negara Palestina, Arab Saudi dan Mesir tidak bisa mengakui kemerdekaan Negara Indonesia,” tambahnya.
Akan tetapi, pada masa order baru media tidak bisa bebas, jika ada koran yang mengkritisi pemerintah di masa itu, maka pemberitaan yang dimaksud dipastikan langsung di cabut.
“Setelah era reformasi khususnya di tahun 1999 media tumbuh layaknya tumbuhan jamur. Tapi, setiap ingin mendirikan media direktur atau pimpinan media itu harus dilakukan penelitian khusus, karena ditakutkan media baru itu ada kaitannya dengan keluarga G30S PKI,” ungkapnya kepada para peserta WJC.
“Sementara sekrang kita sudah masuk ke dalam era 4.0, dimana media masa sudah ramai dengan kecepatan oleh media online,” tutur Atui panggilan akrabnya.
Atui menerangkan, menjadi seorang jurnalis tidak terbatas menjadi wartawan, penyiar atau reporter saja, tapi juga bisa bekerja di berbagai bidang swasta atau pemerintahan manapun karena pengetahuan dan chanel luas yang dimiliki seorang jurnalis.
“Saya disini cuna memberikan semangat dan motivasi, karena itu yang diperlukan oleh jurnalis muda. Saya sangat sepakat dengan adanya kegiatan seperti ini,” akhirnya.
Sementara itu Marliana, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah pada acara WJC memberikan materi perkenalan kode etik jurnalis dan dasar – dasar penulisan. Dimana kode etik menjadi pelindung aktivitas tulisan menulis.
“Selama ada undang-undang pers dengan tetap berada dalam koridor kode etik jurnalis tulisan mereka tetap aman,” imbuh Marliana.
“Jadi kalau ada tulisan yang bertentangan dengan kode etik jurnalis maka itu bisa di tuntut atau dilaporkan ke aparat yang bersangkutan,” tambahnya.
Baginya, penulis tidak harus menjadi seorang wartawan. Dimanapun dan siapapun boleh menulis di era 4.0 ini.
“Semua orang bebas menulis selama tidak bertentangan dengan kode etik jurnalis,” Ia menukas.
“Saya menyarankan, jika mereka ingin pintar dan bisa menulis, mereka harus sering sering belajar dan membaca untuk mempertajam nalar tulisan mereka,” pungkasnya.