REDAKSI8.COM – Sang Saka, itulah judul pementasan yang dilakukan oleh Teater Keliling di Kiram, Kabupaten Banjar tadi malam (6/4).
Teater Keliling adalah grup teater Indonesia yang konsisten berkarya sejak 13 Februari 1974 dan sudah 44 tahun berkarya.
Teater ini didirikan oleh Ir. Dery Syrna, Rudolf Puspa, Buyung Zasdar dan Paul Pangemanan.
Teater keliling telah mementaskan lebih dari 1600 pertunjukkan di semua kota di Indonesia dan 11 negara di 4 banua di dunia.
Kini Teater Keliling yang berasal dari Jakarta berkolaborasi dengan Teater Kita Kalimantan Selatan, melakukan aksi pentasnya di Bukit Wisata Kiram.
Pertunujukkan tersebut menceritakan tentang potret pemuda masa kini yang dianggap jauh berbeda dari pemuda di era Kemerdekaan.
Diceritakan, seorang veteran yang coba mengajak sejumlah pemuda masa kini agar lebih peduli pada bangsa yang diperjuangkan hingga merdeka 72 tahun silam.
Sangat di sayangkan, usaha veteran itu gagal. Alih-alih mau dirangkulnya, para pemuda itu justru lari.
Hingga sang veteran pun hanya mampu mengenang perjuangannya yang begitu keras di masa lampau seorang diri.
Kenangan itu bermuara pada bagaimana dirinya berjuang mendapatkan kemerdekaan, termasuk saat ia meninggalkan rumah dan keluarga serta ditinggal kawan yang mati dalam peperangan, serta kesulitan lainnya.
Sepenggal kisah seorang veteran yang pergi berjuang itu, menjadi awal lakon Sang Saka yang dibawa Teater Keliling mengitari Indonesia.
Kisah pun kemudian berganti dengan sudut pandang lain, yakni sudut pandang pemuda masa kini.
Jangankan menghormati bangsanya, menghormati orangtua sendiri tergambar masih sulit mereka lakukan.
Apa yang ada di benak mereka hanya eksistensi diri. Mulai dari ber swadaya (selfie) foto, tenggelam dalam dunia maya, berkiblat pada gaya hidup bangsa asing, serta berkomentar tanpa menghadirkan solusi.
Wujud itu digambarkan lewat tingkah Komer (diambil dari kata Komersial), sosok pemuda yang begitu ‘tenggelam’ akan kecanggihan teknologi hingga lupa akan kehidupan sekitarnya.
Dalam hidupnya, yang terpenting adalah dirinya sendiri agar terkenal.
Sementara Kor (diambil dari kata Korupsi), gadis perantauan dari Medan yang menganggap segala hal mewah adalah keistimewaan buatnya.
Sama halnya dengan Komer, ia juga seakan tak peduli dengan kehidupan sekitarnya.
Pati (diambil dari kata Apatis), pria sangar yang diceritakan susah sekali untuk membanggakan Negara sendiri, yaitu Indonesia.
Satu lagi yang bernama Dea (diambil dari kata Idealis), seorang wanita yang berperilaku mengandalkan pemahaman pada visi yang jelas.
Ia juga bersikap seperti itu, karena memiliki keyakinan yang kokoh atas persoalan yang sedang ditangani atau yang akan ditanamkan pengaruhnya
Empat orang itu diceritakan merupakan sahabat karib yang bertemu kembali untuk berpetualang mencari harta karun.
Dalam perburuan harta karun itu, terbuka rahasia dari setiap diri mereka dan menjawab apa penyebab pemuda dan pemudi bangsa yang lupa diri dan memupuskan rasa cintanya pada negeri.
Harta karun berhasil ditemukan, tetapi bukan seperti yang ada dalam bayangan mereka.
Harta itu menuntun ke sebuah dimensi waktu imajiner detik proklamasi kemerdekaan, yang membuka kembali mata dan hati mereka, yakni tentang pentingnya peran dalam membentuk bangsa ini menjadi benar-benar merdeka.
Silih berganti dipertunjukan gambaran perjuangan para pahlawan mendapatkan kemerdekaan.
Perselisihan, perdebatan, serta desakan antara pemuda dengan Soekarno-Hatta agar Indonesia segera merdeka.
Gerakan itu menghasilkan perumusan naskah proklamasi yang diketik Sayuti Melik, yang kemudian dibacakan Soekarno-Hatta dan akhirnya sang saka merah putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya.
Sang Saka yang saat itu begitu diagungkan para pemuda adalah harta karun itu.
Identitas bangsa yang kini tak begitu dianggap dan malah jadi harta ‘terpendam.’
Lakon Sang Saka ini dipentaskan ke lima kota di Indonesia, mulai dari Cirebon (31 Maret 2018) Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, Pangandaran (2 April 2018) Kampung Nusantara, Karawang (4 April 2018), Gedung Teater Arena Kampung Budaya, Kalsel (6 April 2018) Bukit Wisata Kiram Martapura, dan berakhir di Palangkaraya (8 April 2018) Gedung Olah Seni Disparekraf Palangkaraya.
Rudolf Puspa, pendiri Teater Keliling sekaligus sutradara lakon ini sengaja membawa pertunjukannya ke beberapa kota untuk mengajak para pemuda cinta tanah air dan membesarkan bangsa Indonesi.
“Sebagai generasi penerus, kami merasa sangat penting untuk mempelajari dan mengenalkan kembali sejarah bangsa ini. Karena arah dan tujuan dari negara Indonesia pun berada ditangan kita,” ucapnya.
Hadirnya Sang Saka di berbagai kota tambahnya, menjadi salah satu cara agar penonton yang menyaksikan dapat mengambil nilai positif dari pementasan yang mereka sajikan.
Selain itu tuturnya, tentunya harapan dari Teater Keliling agar melalui seni pertunjukkan, generasi muda dapat lebih mencintai tanah air dan membesarkan bangsa.