REDAKSI8.COM – Masih adanya silang pendapat soal penetapan tapal batas Kabupaten Banjar dalam satu bulan terakhir ini, menurut mantan anggota Pansus Peraturan Daerah (Perda) RTRW Saidan Pahmi saat dihubungi melalui telepon Whatsapp (Kamis, 11/08/2022) mengungkapkan hanya soal perbedaan pemahaman kewenangan di masing-masing tingkatan pemerintahan.
“Kewenangan penentuan tapal batas antar Kabupaten adalah kewenangan pemerintah Kabupaten, bukan kepala Desa atau Camat. Jika tapal batas tersebut antar desa dalam satu Kabupaten, baru kepala desa berwenang secara bersama-sama mengusulkan tapal batas antar desa sesuai kesepakatan,” tutur Saidan.
Namun menurutnya, jika tapal batas tersebut antar desa yang berbeda Kabupaten, maka itu sudah bukan lagi wewenang Desa. Apalagi batas wilayah tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Peraturan Daerah RTRW yang sudah disahkan oleh DPRD Kabupaten Banjar beberapa waktu yang lalu.
“Lalu dasar dari Desa mempersoalkan tapal batas yang sudah di-perda-kan tersebut apa? Apakah Peraturan Desa atau apa?” tanya anggota legislatif dari fraksi Demokrat tersebut.
Jika dasar yang dipakai adalah peraturan desa, menurut Saidan Pahmi, harus tunduk dengan Perda, sesuai azas hukum yakni lex superior derogat legi inferior; Peraturan Desa lah yang harus menyesuaikan dengan Perda.
Menanggapi adanya usulan dari para aktivis agar dibentuk tim independen untuk melakukan ukur ulang terhadap tapal batas, Saidan mempersilahkan, namun menurutnya hal tersebut nyaris tidak merubah apa-apa.

“Boleh-boleh saja ada usulan dibentuk tim independen untuk mengukur ulang tapal batas, namun hal tersebut tidak bisa merubah apa-apa lantaran tapal batas tersebut terlanjur disahkan DPRD dalam perda RTRW, dan untuk melakukan revisi Perda tersebut tidak semudah Perda biasa karena ada tenggat waktu dan harus persetujuan hingga ke Kementerian ATR” terang Saidan
Jalan yang paling tepat untuk mempersoalkan tapal batas tersebut menurut Saidan adalah dengan mengajukan uji materil atas Perda RTRW tersebut ke Mahkamah Agung dengan mendudukan DPRD dan Pemkab Banjar sebagai Termohon.
“Hal ini penting sebagai pembelajaran terutama bagi kami DPRD, pada saat pembahasan Raperda agar tidak main-main dan harus lebih hati-hati. Jujur saja, perdebatan yang menguras energi pada saat pembahasan maupun dalam rapat-rapat berkaitan dengan Raperda RTRW waktu itu adalah seputar kawasan agrominapolitan,” terang Saidan.
Sehingga menurut Saidan, konsentrasi para anggota pansus termasuk dirinya terhadap kawasan selain agrominapolitan tidak begitu mendalam, apalagi saran, masukan dan kritik dari berbagai pihak diluar DPRD dan Pihak eksekutif terhadap tapal batas pada waktu itu hampir tidak ada, kecuali soal kawasan-kawasan pertanian, kawasan perumahan dan sebagainya.
“Karena itu, wajar jika terhadap hal-hal tertentu dalam Perda RTRW, mungkin masih terdapat kelemahan sehingga perda ini layak dipersoalkan ke ranah yudisial melalui uji materil, karena mempersoalkan melalui cara biasa yakni mekanisme legislasi memerlukan tahapan yang ketat dan waktu yang lama untuk merevisinya,” tutup Saidan.


