REDAKSI8.COM – Menanggapi sikap ketua Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kabupaten Banjar, H.M. Rofiqi yang tidak mau menandatangani Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun 2021, mendapat sorotan dari Anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Banjar Saidan Pahmi.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (19/9/2022), anggota fraksi Demokrat ini menyampaikan bahwa dirinya memang mengetahui bahwa Ketua DPRD Kabupaten Banjar tidak mau tanda tangan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun 2021.
Hal tersebut diketahuinya setelah ada surat dari Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan ke Pemerintah Kabupaten Banjar Nomor: 900/1339/Set-Bakeuda tertanggal 30 Agustus 2022 yang menyampaikan surat perihal belum adanya pembubuhan tanda tangan dari ketua DPRD Kabupaten banjar dalam dokumen tersebut.
“Waktu itu saya tidak ambil pusing, karena bagi saya ketua DPRD Kabupaten Banjar bukan anak-anak yang tidak paham aturan bernegara. Jika sebuah keputusan DPRD sudah diambil berdasarkan Tatib, yakni diambil melalui Rapat Paripurna yang sah, maka pembubuhan tanda tangan itu adalah sebuah keniscayaan, karena tanda tangan pimpinan DPRD tersebut adalah simbolisasi dari keputusan Institusi DPRD, bukan menyimbolkan keputusan personal ketua DPRD,” ungkap Saidan.
Lebih lanjut, Saidan menjelaskan bahwa produk hukum yang dikeluarkan DPRD itu bisa berupa peraturan yang bersifat mengatur (regeling), contohnya Perda atau Peraturan DPRD dan bisa juga berupa peraturan yang bersifat memutus (beschikking). Contohnya surat keputusan Ketua DPRD. Jika peraturan yang dibuat bersifat mengatur, maka mekanismenya harus melibatkan persetujuan anggota DPRD, sedangkan surat keputusan, tidak perlu melibatkan anggota DPRD, cukup Pimpinan dan/atau Ketua DPRD.
“Nah, Pertanggungjawaban APBD inikan produk hukumnya adalah Perda, keliru jika Ketua DPRD tidak tanda tangan, sementara produk tersebut telah berproses sesuai dengan mekanisme yang ada dalam Tatib DPRD, yakni telah dibahas sampai pada kesepakatan dalam Paripurna yang sah,” tambah Saidan.
Sebuah Perda menurut Saidan, hakikatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga mekanismenya harus melibatkan para anggota DPRD sebagai perwakilan dari rakyat. Keliru jika kesepakatan yang merepresentasikan rakyat dibajak oleh ketidakmauan pribadi pimpinan yang enggan tanda tangan.
Ketika ditanyakan pendapatnya, bagaimana jika bersikeras tidak mau tanda tangan, menurut Saidan, lakukan pendekatan persuasif sembari memberi pemahaman. Ketika ditanya lagi, bagaimana kalau sudah dilakukan pendekatan persuasif, namun hasilnya tetap nihil, dengan jeda yang panjang ia menjawab, terpaksa harus diselesaikan secara politis yaitu mengajukan mosi tidak percaya.
Terhadap LSM yang memberi dukungan tidak tanda tangan Raperda Pertanggungjawaban APBD, Saidan menanggapi bahwa hal itu karena teman-teman LSM belum dapat pencerahan saja soal urgensi Raperda pertanggungjawaban pelaksanaan APBD untuk apa.
“Raperda Pertanggungjawaban, selain mengesahkan penggunaan APBD tahun 2021 termasuk didalamnya penggunaan anggaran yang dipakai DPRD, juga untuk memanfaatkan SiLPA tahun lalu agar bisa dipakai dalam APBD perubahan tahun berikutnya,” ungkapnya.
“Jika Perda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tidak disahkan, akan ada problem yuridis berkaitan keabsahan penggunaan APBD perubahan tahun berikutnya, dan hal ini jelas akan mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan,” tutup Saidan.
Sebelumnya, Ketua LSM KPK-APP Kalsel Aliansyah mengeritik ketidakprofesionalan Pemkab Banjar terkait LKPJ Pelaksanaan APBD TA 2021. Hingga berakibat belum dievaluasinya dokumen tersebut oleh Pemprov Kalsel lantaran tidak ada tandatangan Ketua DPRD Banjar HM Rofiqi.
Saat dihubungi lewat telepon whatsapp, Aliansyah menuturkan bahwa apa yang terjadi saat ini di Pemkab Banjar merupakan hal baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Hal itu mengindikasikan adanya keteledoran pihak eksekutif dalam menyerahkan LKPJ ke legislatif dan menganggap tindakan ketua DPRD Kabupaten Banjar sudah tepat.
“Apa pun alasannya, pastinya kalau melihat runut pembahasan LKPJ dari eksekutif ke legislatif waktunya sangat mepet. Padahal rentang waktu yang diberikan selama 7 bulan. Tetapi yang terjadikan pembahasannya ada di penghujung waktu,” ungkapnya.